A Game of Power [Six: A Maverick]

agopbaru

A Story by Soshinism

—–

Rating: PG 15

Genre: Romance, Action

Starring Cho Kyuhyun. Choi Sooyoung. Jung Yunho. Shim Changmin. Kwon Yuri

—–

Previous Chapter

Start Off | Meetings | One Important Clue | Abduction and an Old Truth | Return of Memories

—–

Enjoy

—–

2005

Cho Kyuhyun memacu mobilnya dengan kecepatan sedang. Ini kali pertamanya menggunakan mobil setelah legal –dan entah untuk yang keberapa kalinya secara ilegal. Jemarinya yang panjang ia ketukkan pada setir mobil mahalnya sealun dengan lagu yang tengah diputar. Ia menambah kecepatan mobilnya ketika melewati jembatan. Dan saat itu pula ia melihat ada sebuah –seseorang tengah berdiri di ambang jembatan. Rem mobil ditekannya mendadak menimbulkan suara decitan yang cukup keras di jalanan lengang itu. Kyuhyun sempat ragu untuk waktu yang tidak bisa dikatakan sebentar –apakah ia mau kembali atau tetap lanjut meninggalkan apa yang sebenarnya baru saja ia lihat –apakah nyata atau hanya penglihatannya yang salah. Ia menarik tuas transmisi dan menginjak pedal gas. Berjalan mundur dengan kecepatan hanya dua puluh kilometer per jam. Ia terdiam di mobil beberapa saat. Memfokuskan pandangannya pada seseorang yang berdiri di ambang jembatan di seberangnya. Ya, seseorang. Setelah mengambil napas panjang dan menghembuskannya beberapa kali, perlahan Kyuhyun membuka pintu mobilnya dan berjalan ke arah seseorang tersebut. Seorang gadis, kira-kira umurnya lima belas tahun, batinnya. Ia tak benar-benar tahu apa yang harus dilakukannya setelah ia sampai di samping gadis itu. Bisa saja gadis itu malah benar-benar bunuh diri dari atas jembatan karena kedatangannya. Kyuhyun merapatkan kakinya dan mempersiapkan runtutan kata-kata untuk ia keluarkan pada gadis itu.

“Coba saja kalau berani.” Tapi sayang itu yang keluar dari bibirnya. Dan ia merutuki dirinya sendiri karena itu.

Kyuhyun tak menyangka bahwa respon yang gadis itu berikan padanya adalah sebuah tatapan tajam penuh dengan perasaan yang campur-aduk. Lelaki itu memundurkan badannya sedikit sambil terus memandangi wajah gadis itu. Sangat familiar.

Ia kembali ke kesadarannya ketika gadis itu mencoba menjatuhkan dirinya dari atas jembatan. Kyuhyun mencengkeram bagian samping perut gadis itu dengan kedua tangannya dan perlahan mengangkat gadis itu. Menyelamatkannya.

“Aku tahu kau tidak akan berani untuk benar-benar melompat dari atas sini,” katanya lagi. Perlahan ia mendengar suara tiga-empat mobil mulai berdatangan dan berhenti di dekatnya.

“Kemari,” Kyuhyun berkata sembari menarik lengan gadis itu dengan kuat dan membawanya ke salah satu mobil. Beberapa orang keluar dari masing-masing mobil dengan tatapan yang cukup khawatir. Ia bertemu dengan salah satu lelaki yang keluar dari kursi belakang mobil dan berpakaian paling necis, kemudian berkata, “Adikmu? Sebaiknya kau jaga dia karena aku menemukannya mencoba bunuh diri dari atas jembatan.” Lelaki yang diajak bicara itu hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih dengan pelan, kemudian menarik lengan sang gadis dan menyuruhnya masuk ke mobil.

“Kami sangat berterima kasih pada Tuan…”

“Cho. Cho Kyuhyun.”

“Tuan Cho Kyuhyun. Nona Choi baru saja kehilangan ayahnya dan menjadi seperti ini,” salah satu supir –karena pakaiannya tidak senecis lelaki yang Kyuhyun ajak bicara pertama kali– menghampirinya dan menunduk berkali-kali.

“Aah… Baiklah, sampaikan salam duka saya padanya dan keluarganya,” tukas Kyuhyun cepat.

“Sekali lagi, gamsahamnida.”

Ne.”

Kyuhyun tetap berdiri di tempatnya sampai mobil-mobil mewah itu pergi menjauh darinya. Ia menggelengkan kepala seraya berjalan kembali ke mobilnya. Dan saat lelaki itu baru saja menutup pintu mobil, ia teringat sesuatu.

Cho Kyuhyun tahu siapa gadis yang baru saja diselamatkan olehnya.

Saat itu pukul satu dini hari.

***

2014

Sementara para pelayan pribadi di rumah yang cukup besar namun sangat jauh –terlalu jauh– dari kebanyakan populasi manusia mempersiapkan dan menata tempat perjamuan, seorang lelaki berjalan penuh wibawa di lorong rumah tersebut. Ia sampai di depan pintu sebuah ruangan ketika seorang pelayan lelaki menyapanya.

Eoseo oseyo, Choi Yun–“ Belum selesai pelayan itu dengan kata-katanya, lelaki yang disapa itu memberikan isyarat kepada anak buahnya untuk membuatnya diam. “Aku bukan seorang Choi,” lelaki itu berkata sambil memandang sang pelayan dan dalam hitungan beberapa detik, pelayan itu tak sadarkan diri.

Pintu terbuka dan memperlihatkan sebuah ruangan yang sangat rapi namun sedikit gelap dan tak bercahaya. Seorang pelayan perempuan keluar dengan mendorong seseorang dengan kursi roda. Keduanya berdiri dalam jarak sekitar tiga meter. Perkenaan cahaya siang yang datang dari jendela besar ruangan itu memperlihatkan setengah wajah lelaki tua yang duduk di kursi roda dan seluruh wajah lelaki di hadapannya. Kemudian kedua lelaki itu berpandangan cukup lama, tak mengeluarkan sepatah katapun.

Lelaki yang lebih muda berjalan perlahan ke arah jendela, menyandarkan pundak kanan dan kepalanya kemudian bertanya, “Bagaimana kabarmu?”

Sementara yang ditanya itu hanya diam dan memandang lurus apa saja yang ada di depannya, lelaki yang lebih muda itu kembali ke tempatnya semula, berdiri dengan kedua tangan dimasukkan dalam saku celana abu-abu tuanya di hadapan lelaki tua itu.

“Apa maumu?” jawab lelaki tua itu seraya menumbukkan pandangan tajamnya pada lelaki di hadapannya. “Kukira kau ingin aku mati. Kenapa tidak kau bunuh saja lelaki yang sudah tua ini, hm?” lanjutnya lagi dengan suara yang sedikit bergetar karena usia.

Tersenyum sangat lebar, lelaki yang lebih muda itu dengan cepat menjawab, “Why whould I kill the best weapon of mine to fight against your very own daughter?”

Seketika pandangan lelaki tua itu berubah, ia mengepalkan tangannya kuat dan dengan penekanan sangat kuat pada setiap kata-katanya, ia berujar, “Jangan pernah kau sentuh Sooyoung, Jung Yunho. Sejengkal pun kau tak akan bisa.”

Yunho, lelaki yang lebih muda itu, kembali tertawa kecil sambil melenggang keluar dari ruangan itu. Saat tangannya berada pada handle pintu dan kaki kanannya hanya berjarak sepuluh sentimeter dari daun pintu itu, Yunho berhenti. Menengok ke belakang sedikit dan berkata, “Annyeonghigyeseyo, Abeoji.”

Dan pintu itu kembali tertutup setelah Yunho keluar, meninggalkan lelaki tua itu dengan segala kekhawatirannya pada anak perempuan satu-satunya, Choi Sooyoung.

***

2005

Cho Kyuhyun membuka pintu depan rumahnya setelah memarkir mobil ketika ia menemukan ayahnya berdiri di ruang tamu, menghadap jendela, dan hanya diam. Ia berjalan mendekatinya, menghela napas, “Abbeoji, mengapa tidak tidur? Sudah larut,” katanya sambil meletakkan tangan di pundak ayahnya. Lelaki tua itu menengok sedikit sembari menggenggam tangan Kyuhyun yang berada di pundaknya.

Gwenchanayo?” tanya Kyuhyun lagi setelah beberapa saat tidak mendapat jawaban.

Ne, gwenchana,” tukas ayah Kyuhyun pada akhirnya.

“Tidurlah, Abbeoji, jangan sampai sakit,” Kyuhyun tersenyum kecil dan membalikkan badan setelah mendapat anggukan dari ayahnya sebelum ia berhenti untuk mengatakan sesuatu padanya.

Abbeoji–“ Cho Kyuhyun berbalik, hanya untuk menemukan ayahnya sudah tak sadarkan diri.

***

2014

Appa mati. Jangan menangis. Kau lemah jika menangis.” Arah pandangan Sooyoung ada pada kanan atas ketika ia mengucapkan tiga kalimat itu.

“Yunho baru memberitahuku tiga hari setelah kematian Appa. Aku bahkan tidak hadir pada pemakamannya,” ujar Sooyoung lagi diakhiri dengan tawa kecil.

“Katanya, Appa pergi setelah beberapa orang yang tidak menyenanginya menyerangnya di rumah. Tapi aku tidak percaya. I’m not that stupid, setidaknya ketika Yunho terus mengulangi bahwa aku tidak boleh berkunjung ke makam Appa, itulah yang kukatakan dalam hati. Dan, yah, I know that something isn’t right, that’s when I started to realise, maybe that’s because of that, and maybe this is because of this.

Kyuhyun hanya mampu diam. Tak mampu berkata apa-apa mengetahui bahwa gadis yang dicintainya itu menyimpan begitu banyak rahasia besar yang tak bisa ia katakan pada siapapun. Lelaki itu sempat ragu beberapa saat, namun rasa penasarannya sungguh besar hingga ia bertanya, “Apa kau tahu… mengapa Appamu membunuh Eomma Yunho?”

Sooyoung mengendikkan bahu dan menggelengkan kepala, “Itupun menjadi satu-satunya pertanyaan yang ingin kuketahui jawabannya, Kyuhyun-ah.”

Kemudian kali ini keduanya diam, sama-sama menatap langit bagaikan penuh permadani terbang. Hembusan napas Sooyoung yang berat mampu Kyuhyun dengar dari jarak keduanya yang begitu dekat. Hingga Sooyoung mengangkat tubuhnya dan berjalan ke tepi pagar atap rumahnya. Wanita itu mengusap kedua tangannya kemudian memeluk dirinya sendiri.

“Sooyoung-ah.”

Nde?”

“Jangan lakukan hal yang bodoh,” dan wanita itu hanya tersenyum singkat membalas Kyuhyun.

***

Kyuhyun menambah kecepatan mobilnya ketika ia hampir saja terkena lampu merah. Keinginannya begitu kuat bahwa ia harus menemui Appanya malam itu juga. Ia tembus malam dingin itu dengan penuh pertanyaan di kepalanya setelah ia pulang dari rumah Sooyoung. Sesekali Kyuhyun menyesap Americano panas yang sudah dingin untuk mengusir ketidakfokusannya. Ia sampai setelah hampir selama dua setengah jam berada di jalan dan langsung memarkir mobilnya. Kyuhyun melangkah mantap menuju pintu belakang rumah besar itu dan memasukkan password ketika ia telah sampai. Lelaki itu menyalakan saklar dan begitu terkejut ketika menyadari seorang lelaki tengah duduk di meja makan sendirian.

Abbeoji?”

Lelaki tua itu mendongak dan meletakkan soju yang sedang diminumnya, matanya sedikit menyipit untuk mengenali siapa yang baru saja datang.

“Oh Kyuhyun-ah?”

Kyuhyun segera menuju Appanya dan memeluknya erat, “Jal jinae syeosseoyo?”

Lelaki tua itu mengangguk dan menepuk dua kali punggung anaknya kemudian kembali duduk. “Jom pigonhandaeyo,” ujarnya kemudian meneguk sojunya sampai habis.

“Maaf aku datang malam-malam,” ujar Kyuhyun pada Appanya. Appanya hanya tersenyum membalasnya dan beralih untuk membuang botol soju.

Abbeoji…” lelaki yang dipanggil itu hanya menoleh pada Kyuhyun dan menaikkan kedua alisnya seperti bertanya, ada apa? Kyuhyun menggenggam kedua tangannya dan meletakkan kepalanya di atasnya kemudian berkata, “Apa yang terjadi malam itu?”

Senyum yang semula terlihat sekilas di wajah Appa Kyuhyun kini benar-benar hilang. Ia hanya menatap Kyuhyun lurus seperti tak beremosi. Badannya yang sudah semakin renta ia letakkan kembali di kursi meja makan. Dan bibirnya mulai terbuka saat jarum detik pada jam dinding berdenting tepat pada angka sembilan.

***

1999

October

“Apa yang baru saja kau lakukan, Younghwan-ah?” gumam Choi Jungnam geram pada dirinya sendiri sembari menyandarkan punggungnya pada kursi hitam besar miliknya. Ia menatap lurus ke langit-langit ruangan seraya mengacak rambutnya frustasi. Dari raut wajahnya tampak kekesalan yang mendalam sampai ia membanting telepon di mejanya ke lantai. Dengan gerakan yang kasar, lelaki itu membenarkan letak teleponnya kemudian menghubungi beberapa nomor. Pada panggilan yang ketiga, ia berkata sambil menggertakkan giginya, “Apa yang baru saja kau lakukan?”

Tidak terdengar balasan dari yang berada di seberang sana. Hingga terdengar suara seorang anak lelaki dan beberapa pelayan membujuknya untuk tak mengganggu.

Kembalilah ke kamarmu, Kyuhyun-ah. Appa sedang bekerja, ne?”

Jungnam menghela napas lelah dan kembali bertanya, “Apa yang harus kukatakan pada Kyuhyun nanti, eoh?”

Aku… aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana, Jungnam-ah. Mereka bukan mengancam akan membunuhku jika aku tidak menjualnya, bukan. Kyuhyun lah yang akan mereka bunuh. Aku benar-benar tidak tahu apa yang kulakukan, Jungnam-ah.”

Jungnam berdiri dan berpindah tempat, menghela napas berat lagi untuk kesekian kalinya, dan berkata, “Baiklah. Kau diam saja. Jangan lakukan sesuatu yang bodoh. Aku akan mengurus ini semua. Kau tenang saja.”

“Apa yang akan kau lakukan?”

“Membebaskanmu dari peluru anjing-anjing negara itu–“

“Yya! Ige mwoya?! Kau tidak akan sanggup, Jungnam-ah! Andwe! Bisa-bisa keluargamu yang akan ter–“

“Januari. Ji Woo. Yoon Ji Woo.”

Dan Cho Younghwan terdiam.

January

Choi Jungnam terlihat terburu-buru merapikan kemeja dan celana formalnya ketika telepon di meja samping tempat tidurnya berdering. Entah sudah untuk yang keberapa kali. Panggilan itu berhenti untuk beberapa saat setelah ia memutuskan untuk tidak mengangkatnya. Seorang lelaki yang jauh lebih muda daripada dirinya –anaknya– masuk ke kamar itu dan menyodorkan kedua kaos kaki serta sepatunya, meminta Jungnam untuk memakaikannya padanya. Jungnam baru saja akan memakaikan sepatu terarkhir ketika telepon berdering kembali berkali-kali. Tangannya yang satu sibuk memakaikan sepatu lelaki kecil itu dan yang satu menerima telepon.

Ne, Choi Jungnam imnida. Nuguseyo?”

Jungnam-ssi, dia tahu.”

Sejenak Jungnam terdiam dengan bibir dan otak terkunci, untuk beberapa detik ia hanya menatap lurus ke arah luar jendela kamarnya yang besar mengamati supir-supirnya menyiapkan mobil yang akan ia gunakan.

M-musun mariya?” tanyanya setelah mampu mengumpulkan kesadaran.

Yoon Ji Woo, kau harus membunuhnya,” Jungnam hanya mampu mengeratkan bibirnya, “aku yang harus membunuhnya jika dalam waktu dua belas jam kau tidak bisa melakukannya, Jungnam-ssi.”

Seketika itu Jungnam berhenti dari segala kegiatannya. Tangannya yang semula sibuk pada dasi seragam sekolah anak lelakinya mendadak berhenti. Lelaki itu meletakkan gagang telepon setelah panggilan berhenti dan mengalihkan pandangannya pada anak lelakinya. Ia hanya tersenyum dan diam.

Appa, gwenchanayo?”

Jungnam masih mempertahankan senyumnya, ia membelai puncak kepala anak lelakinya itu kemudian berkata, “Ne, gwenchana. Yunho-ah, kau panggil adikmu dan cepatlah berangkat sekolah, arraseo?”

Ne, Appa. Saranghae,” tukasnya sambil mengecup pipi ayahnya.

Jungnam berdiri dan kembai terdiam untuk waktu yang tak bisa dikatakan sebentar.

***

Udara terasa semakin dingin menusuk tulang pada pukul sepuluh malam pada suatu hari di bulan Januari 1999, ketika terdengar seorang wanita dengan langkah penuh kemarahan di atas tanah berbatu. Ia rapatkan coat musim dinginnya kemudian menggosok-gosok kedua telapak tangannya bersamaan untuk mengembalikan panas tubuhnya yang hilang. Ia bernapas lega dan tersenyum sesaat setelah kakinya menyentuh tanah rumah yang sedari tadi ia tuju. Tangannya yang kecil namun sangat memperlihatkan kekuatan yang wanita itu peroleh dari segala pelajaran di hidupnya, hampir saja mengetuk pintu, ketika dengan tiba-tiba pintu rumah mewah itu terbuka lebar.

“Masuklah,” ujar lelaki yang membuka pintu itu cepat.

Sementara wanita itu melepas pakaian luarnya yang sedikit tertutup salju, ia berkata, “Aku tidak membiarkanmu merawat Yunho hanya untuk membuatnya menjadi monster.” Sementara yang diajak bicara olehnya hanya diam di belakangnya.

“Jungnam-ah!”

Jungnam, lelaki itu, kali ini menumbukkan pandangan penuh emosinya pada wanita itu dan berujar putus asa, “Kau kira aku mau darah dagingku sendiri sudah menjadi seorang musuh negara di umurnya yang masih sangat muda?”

Wanita dengan rambut cokelat gelap itu berdiri membelakangi Jungnam memandangi foto-foto keluarga yang terpasang di dinding ruang tamu dengan rapi. Ia menekuk kedua lengannya di bawah dada dan masih terdiam.

“Yunho, Sooyoung, sudah seberapa besar mereka saat ini? Aku ingin bertemu dengan mereka,” ujarnya dengan senyum kecil.

“Mereka sudah tidur.”

“Sooyoung… Bagaimana dia?”

Wanita itu berbalik ketika ia sama sekali tidak ada jawaban dari Jungnam. Hanya untuk mendapati lelaki itu sedang mengacungkan pistol semi-otomatis tepat di depannya. Ia terkekeh sambil memalingkan muka. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana jeans biru terangnya. “Aku sudah menduga ini akan terjadi,” tukasnya dengan tawa kecil.

Jungnam menarik pelatuk, menguatkan tangannya, kemudian berkata, “Ji Woo-ah, jeongmal mianhae…”

Namun hanya beberapa detik setelah ia mengatakan hal itu, ia menjatuhkan tangannya yang memegang pistol sambil menutup mata. Tidak berani hanya sekedar untuk melihat wajah wanita di depannya. Sementara wanita itu kembali terkekeh dan menggelengkan kepalanya. “Aku memang harus mati kan, Jungnam-ah? Mengapa tidak kau tembak saja aku da–“

DOR!

Seketika itu Choi Jungnam membuka matanya dan mendongak. Ia hanya ingin memastikan apa yang baru saja didengarnya tidak benar. Ia hanya ingin mengetahui apakah wanita di depanya itu masih berdiri dengan kedua kakinya yang kuat. Ia hanya ingin mengetahui bahwa suara barusan bukan dari pistol miliknya.

Dan ia salah. Suara itu benar dari pistol miliknya.

Dan ya, suara yang didengarnya itu benar, bukan hanya halusinasinya saja. Dan Yoon Ji Woo, wanita yang sedari tadi berdiri dengan kuat di hadapannya itu, telah tumbang dengan darah mengalir dari dadanya.

Jungnam hanya berdiri di sana. Bibirnya terbuka dan seluruh tubuhnya bergetar. Ia bahkan tidak menyadari pintu rumahnya telah terbuka dan menampakkan seseorang dengan raut wajah yang tidak bisa dibaca.

***

Cho Younghwan mengemudikan mobil mewahnya menembus angin malam dengan tergesa-gesa. Pikirannya berputar-putar dalam lingkaran sebuah masalah. Jemarinya ia ketukkan pada kemudi dengan cepat sejalan dengan kakinya menambah kecepatan mobil. Ia sampai di depan rumah sahabatnya. Ketika sebuah suara tembakan terdengar dari dalam rumah itu. Dan sesaat setelah itu ia berlari dari mobilnya ke dalam rumah.

Younghwan membuka pintu. Matanya melebar dan badannya terasa kaku. Di depannya, seorang wanita tergeletak dan berlumur darah. Sementara sahabatnya, menggenggam sebuah pistol di tangan kanannya. Dan di balik dinding ruang tamu itu, Choi Sooyoung melihat segalanya.

Ia berlari menuju Sooyoung yang hanya berdiri memeluk bonekanya dan membawanya ke kamarnya di lantai atas.

“Sooyoung-ah, jangan pergi kemana-mana, ne? Tetaplah di sini sampai aku kembali, arraseo?”

Setelah mendapat anggukan dari Sooyoung lelaki itu kembali ke bawah dan pada langkahnya yang ketiga menuruni tangga, ia kembali ke atas. Menuju ke kamar tepat di sebelah kamar Sooyoung, membukanya, hanya untuk menemukan Yunho duduk bersila di atas kasurnya memandang lurus ke arah dinding kamarnya. Younghwan duduk di tepi kasur dan berkata, “Kembalilah tidur.” Younghwan menarik selimut untuk lelaki kecil itu dan keluar ketika tiba-tiba Yunho berkata, “Suara apa tadi, Samchon?”

Younghwan mengentikan langkah, kemudian berbalik dan tersenyum kecil, “Amugeotdo, Yunho-ah.”

***

Younghwan kembali ke lantai bawah rumah itu dan berjalan menuju Jungnam, sahabatnya, yang terduduk di sofa ruang tamu itu. Ia mengambil pistol yang masih tergenggam erat oleh Jungnam dan meletakkannya di laci meja.

“Bantu aku membersihkan ini semua, dan jelaskan padaku apa yang terjadi sebenarnya,” katanya pada Jungnam. Ia memindahkan meja utama di ruangan itu dan meletakkannya di pinggir ruangan, keduanya mengangkat tubuh Ji Woo di tempat meja yang sudah dipindahkan itu dan menggulung tubuhnya dengan karpet, kemudian membersihkan darah Ji Woo hingga tak ada sedikitpun bekas.

Kemudian kedua lelaki itu membawa tubuh Ji Woo yang sudah tergulung karpet ke tempat yang cukup jauh dan membakarnya hingga benar-benar habis.

***

“Katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi,” ujar Younghwan setelah ia dan Jungnam kembali.

“Aku menjual Yunho demi Sooyoung.”

Younghwan memejamkan kedua matanya seraya menopang dagu dan menghembuskan napas kasar. Sahabatnya ini benar-benar bodoh, pikirnya. Bukan karena menjual Yunho demi Sooyoung, namun karena membuat Ji Woo mengandung Yunho bahkan setidaknya lima tahun sebelum ia memutuskan untuk menikahi wanita lain –ibu kandung Sooyoung. Jika saja ia tidak melakukan hal sebodoh itu, pikirnya lagi.

“Apa yang mereka lakukan hingga membuatmu harus menjual Yunho?”

Choi Jungnam adalah seorang yang sangat berkuasa di dalam hal seperti ini –polisi undercover, kelompok kriminal, drug cartel– namun bau kekuatannya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan orang-orang pemerintah kelas atas. Mereka adalah Tuhan, mengatur segala sesuatu yang sudah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi di Korea adalah pekerjaan mereka siang malam. Dan ya, segala sesuatu telah diatur oleh orang-orang yang menguasai para penguasa tersebut.

Choi Jungnam ditunjuk untuk memimpin sebuah organisasi bawah tanah pembantu negara, tugasnya untuk membasmi kriminal-kriminal nomor satu secara bersih dan cepat. Tentu senang bukan main ketika ia mengangkat telepon pada sebuah malam pada akhir tahun 1960-an, membawa berita tentang dirinya yang diberi amanat untuk memimpin sebuah organisasi. Semua berjalan lancar, organisasi tersebut adalah sebuah ide brilian dan lambang kesuksesan ketika sampai pada orang-orang di atas Jungnam mengetahui tentang Choi Yunho, anaknya dari mantan wanitanya yang tidak ia nikahi.

“Sooyoung. Sooyoung adalah target awal mereka. Dia akan dijadikan pemimpin sebuah kelompok kriminal di luar Korea. Segala sesuatu telah diatur orang-orang itu, bahkan hidupku dan keluargaku.”

Udara semakin lama semakin menusuk dan suara serangga mulai terdengar lebih jelas. Younghwan memandang sahabatnya itu dalam diam, menunggunya melanjutkan kisah yang kian lama kian terdengar seperti elegi dalam eulogi yang kemudian terukir menjadi sebuah epitaf.

“Lalu tiba-tiba mereka mengetahui tentang Ji Woo dan Yunho,” Jungnam mulai berdiri dan berjalan lambat dari ujung ruangan ke ujung yang lain, kemudian kembali melanjutkan, “katanya, istrimu sudah pergi, dan dia tidak akan pernah mengetahui tentang Yunho, kau bisa berkata pada pacarmu itu bahwa kau akan merawat Yunho, dan aku melakukannya, Younghwan-ah. Dan mereka kembali mengancam, tapi jika kau mau Sooyoung untuk diserahkan, itu hakmu, kau bisa memilih di antara mereka. Kau bisa kan, Choi Jungnam?

Lelaki itu berhenti berjalan dan kali ini berdiri tepat di hadapan Younghwan, matanya penuh emosi yang tak bisa ditebak.

“Aku memilih untuk menjaga Sooyoung, menjaganya dari segala kekacauan yang dibuat oleh makhluk-makhluk hina itu,” ujarnya lagi. Ia mengambil napas dalam, memasukkan tangan kanannnya pada saku celana, dan kembali membuka suara, “Ji Woo mengetahui hal ini, dan aku tidak tahu darimana ia tahu, tapi yang jelas, aku harus membunuhnya karena hal itu.”

Angin bertiup dari jendela yang terbuka sejak tadi dan telepon berdering di ruangan itu. Tidak ada dari keduanya yang berniat mengangkat hingga pada akhirnya mati.

***

2014

Tirai terbuka dengan paksa membuat cahaya matahari yang begitu terang mendesak Kyuhyun untuk bangun dari tidurnya. Ia menghalangi cahaya dengan lengannya dan matanya menyipit kemudian mengerang malas. Kyuhyun menutup bagian atas tubuhnya yang telanjang dan kembali memejamkan mata.

Abbeoji, jika kau tidak ada–“

“Sudah tiga hari kau disini tanpa menghubungi Sooyoung sama sekali, Cho.”

Kyuhyun langsung terbangun begitu ia mendengar nama Sooyoung keluar dari Appanya dan raut wajahnya langsung berubah serius. Lelaki itu berdiri dan bersiap untuk membersihkan diri sambil bergumam, “Ini masih sangat pagi, Abbeoji.”

Appa Kyuhyun hanya tertawa melihat tingkah laku anaknya tersebut. Semenit-dua menit ia menunggu Kyuhyun akhirnya keluar dari kamar mandi.

“Pergilah. Kau tidak mau dia melakukan sesuatu yang bodoh kan?”

Kyuhyun tersenyum dan mulai berganti pakaian.

***

Kyuhyun melangkah memasuki gedung kantornya sambil memeriksa jam tangannya –pukul sebelas kurang. Ia mengerutkan dahi ketika mendengar ramainya suasana di kantor karena suara para wanita dan sedikit lelaki. Beberapa berkumpul menjadi satu kelompok dan berbisik-bisik satu sama lain sambil terkadang menunjuk ruang interogasi. Ia berusaha menangkap bahan pembicaraan mereka namun hanya kata-kata tak jelas yang didapatnya. Kyuhyun bertambah heran ketika beberapa –hampir semua dari agen-agen itu berhenti bicara ketika melihat Kyuhyun, sementara ia mencari Yuri dan Changmin yang jelas-jelas tidak ada di ruangan besar itu. Ia baru saja hendak mengeluarkan ponselnya ketika seseorang menepuk bahunya.

“Yuri-ah, ige mwoya?” tanyanya kebingungan sambil menunjuk rekan-rekannya yang bertingkah begitu aneh.

“Ikut aku,” ujar Yuri kemudian dengan cepat menarik tangan Kyuhyun menuju ruangan interogasi.

M-mwoya?” Yuri tetap diam dan sama sekali tak ada niatan untuk merespon Kyuhyun. Wanita itu membawanya ke sebuah ruangan untuk mengontrol jalannya interogasi. Hanya terdapat sebuah meja dan kursi, sebuah layar untuk menampilkan CCTV dari ruangan interogasi itu sendiri, dan interkom. Ia dapat mendengar dan melihat apa saja yang terjadi dari dalam ruangan itu. Dan pada saat matanya menangkap apa yang ada pada CCTV, Cho Kyuhyun tahu apa yang sedang terjadi siang itu.

“Apa yang akan terjadi sekarang, Kyuhyun-ah?”

***

6 jam sebelumnya

Sooyoung menyesap kopinya setelah menyelesaikan croissant sandwich pesanannya di sebuah restoran Prancis yang buka dua puluh empat jam di sudut jalan. Restoran itu kecil dan hanya berisikan lima atau enam baris meja kayu panjang dan beberapa meja bulat di lain sisi. Bangunannya terbilang masih baru dan bersih, nyaman namun sedikit sempit. Ia memutar kepala memandang dapur yang terlihat dari tempatnya dan memanggil seorang pelayan sembari menyiapkan uang.

“Kapan kau buka?” tanyanya ketika pelayan itu sampai di mejanya.

“Kurang lebih dua minggu yang lalu,” jawab sang pelayan dan menerima uang yang diberi Sooyoung.

Croissant sandwich-mu enak, kurasa aku akan kembali ke sini,” ujar Sooyoung lagi ketika melihat piring dan cangkir kopinya dibersihkan. Pelayan lelaki yang masih cukup muda itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih kemudian bergegas membawa bekas pesanan Sooyoung ke dapur. Sementara wanita itu melirik jam, masih pukul enam pagi, pikirnya. Ia tetap duduk dan diam untuk beberapa menit yang agak lama, mengamati jalanan yang masih lengang dari jendela sampingnya sambil mengetukkan kelima jarinya yang lentik dan panjang. Ketukannya berhenti ketika pada akhirnya ia memutuskan untuk berdiri dan pergi dari restoran itu.

Sooyoung melangkahkan kakinya ringan sambil bersiul pelan. Sepanjang jalan yang ia lewati ia hanya bertemu dua-tiga orang dan mobil. Wanita itu berhenti sejenak di sebuah kios koran di pinggir jalan, membaca headline berita yang mengatakan, Korupsi Perdana Menteri Lee, yang tentu saja sangat mengejutkan bagi rakyat Korea Selatan karena tingkat korupsi di negara itu sangat rendah.

Sooyoung melanjutkan jalannya setelah ia kembali melirik jam. Setelah berjalan sepanjang empat blok, ia berhenti tepat di depan sebuah gedung kemudian hanya berdiri di tempat yang sama selama beberapa menit. Sooyoung memasukkan tangan kirinya ke dalam saku celananya, untuk ketiga kalinya kembali melirik jam yang berada di tangan kanannya, dan secara cepat namun rileks kepalanya mendongak. Ia menatap tepat pada sebuah kamera CCTV yang berada di tengah atas pintu utama gedung itu dan tersenyum, kemudian melakukan hal yang sama pada beberapa CCTV lain yang terpasang.

Sooyoung melangkah menuju pintu utama, membukanya dengan sebuah kunci yang seharusnya hanya dimiliki para penjaga dengan mudah. Pintu-pintu rahasia dan pintu-pintu yang harus diakses menggunakan password pun ia tembus dengan mudah. Sooyoung terus berjalan lurus dan berbelok di beberapa lorong. Dan tidak, ia tidak berusaha untuk mencari titik buta dari kamera CCTV yang terpasang di hampir setiap tempat yang ia lewati. Langkah cepatnya pada akhirnya berhenti ketika ia sampai di depan sebuah ruangan dengan pintu yang bertuliskan ‘2610’ di depannya. Sooyoung memutar beberapa angka untuk dapat mengakses ruangan itu. Ia tersenyum ketika pintu terbuka otomatis kemudian menggeser gagang pintu kedua yang terbuat dari besi tebal dan pintu ketiga yang merupakan pintu layaknya pintu ruangan normal.

Ruangan itu berisikan dua puluh baris tempat penyimpanan dokumen dalam boks yang memanjang ke belakang sepanjang hampir lima belas meter. Dindingnya berwarna abu-abu kusam dan tidak berhias apapun. Dokumen-dokumen di ruangan itu tertata sangat rapi dimulai dari angka tahun kecil hingga sekarang. Sooyoung menarik sebuah boks yang cukup besar yang tercantum angka 1999 di bagian sampingnya. Ia berlutut pada satu kakinya dan membuka boks tersebut dan mengambil dokumen-dokumen yang ada di dalamnya. Ia baca dengan cepat dokumen itu ketika sebuah suara terdengar di belakangnya.

“Apa yang kau lakukan di sini?”

Sooyoung menoleh, masih memangku dokumen itu, dan menarik satu ujung bibirnya ketika melihat siapa yang ada di ruangan itu selain dirinya.

***

“Mengapa Changmin di dalam bersama mereka?”

“Katanya dia yang menemukan Sooyoung.”

Kyuhyun mengerutkan kening dan menatap Yuri, “Bagaimana bisa dia tahu Sooyoung ada di sini saat itu? Dan lagi, apa yang dia lakukan ketika yang lain masih tidur?”

Yuri hanya mengendikkan bahu, ketika ia datang kantor sudah cukup ramai karena apa yang diperbuat Sooyoung.

Apa kau yang mengirim pesan pada Changmin untuk ke kantor pagi buta tadi?

Suara Yunho yang penuh amarah terdengar oleh Kyuhyun dan Yuri. Keduanya tenggelam dalam kalimat-kalimat yang dilontarkan bos mereka itu. Sementara Changmin hanya berdiri di pojok ruangan dan melipat kedua tangannya. Yunho tak mampu lagi menahan emosinya yang campur aduk ketika Sooyoung hanya menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan senyuman. Amarahnya memuncak namun dengan cepat ia dapat mengontrolnya lagi. Yunho balas tersenyum pada adiknya, perlahan ia meletakkan kedua tangannya pada meja dan sedikit membungkuk, kemudian dengan tenang berkata pada Sooyoung, “Choi Jungnam masih hidup.”

Bibir Sooyoung mendadak seratus persen berubah menjadi sebuah garis lurus. Ia mengunci pandangannya pada Yunho dan tidak mengedip untuk waktu yang tidak sebentar. Kepalanya kemudian tertunduk dengan cepat, Sooyoung tertawa kecil, dan dengan masih menahan senyumnya, ia kembali mendongak, hanya untuk mengubah raut wajahnya menjadi serius kembali. Sooyoung mendadak dicekam kelumpuhan yang membekukan seluruh anggota tubuhnya. Dan Yunho hanya tersenyum padanya.

—–

TBC

—–

Author’s note

Annyeong!! Hihihi akhirnya yah yang ‘katanya’ ditunggu-tunggu published juga 😀 Mianhae, jeongmal mianhae author tidak bisa memenuhi janji seperti biasa T.T Something came up dan saya harus bolak balik Bogor-Semarang jadi ngga sempet update, sekali lagi mianhae *90 degree bows*

Gimana nihh habis baca? Ahaha did it just blow your mind? 😀 😛 Oh iya, ada sedikit part yang saya ubah itu di bagian Yunho bunuh pelayan, author pikir itu terlalu vulgar, jadi diganti ehehe.

Umm I think that’s all I want to say this time, don’t forget to leave your comment below!

Thanks for reading, Soshinism out. *bows*

20 thoughts on “A Game of Power [Six: A Maverick]”

  1. Aku rada bingung sih sama tempat tempat kejadian sama waktunya hehehe terus ada beberapa bahasa yang aku gak ngerti mohon diperjelas ya thorr hehehe. Terus agak banyakin kyuyoung momentnya dong hihi. Semangat thor buat nulis part 7nya postnya jangan lama-lama yaaa^^ gomawo!

  2. Sumpah tegang bgts rasa pas baca sebenarny knp jga ayah sooeoni harus jadi kaya gtuh kenal sma orang jahat yg menghancurkan segalany next part di tnggu jng lma2 ne chigu penasaran sma kelanjutany

  3. Karna uda lama jd agak lupa ceritanya harus ulang lagi deh tp setidaknya part ini seru meskipun masih dedikit membingungkan

  4. sampe lupa cerita sebelum.nya..
    tapi bagus ko ceritanya..
    ditunggu lanjutannya 🙂
    semangat 😀

  5. suer deh aku gak paham apapun
    aku bingung alurnya gimana
    next diperjelas lagi yah
    ff nya udah lumayan kok

  6. Duhh ada apa lagi ini?
    Yunho nyebelin ah
    Semoga masalahnya cepet selesai biar yunhooo kapok dehh
    Next part sangat ditunggu ya thor
    Semangat buat authornya yaa 😁💪💪

  7. Aku masih agak bingung sama ceritanya. Trus pergantian waktu yang menurutku tiba tiba membuat aku semakin bingung dengan jalan cerita ni ff.

    Wah ngapain soo eon nyari dokumen?

  8. sooyoung kenapa? kok jd kyk gtu. dy mau apa sebenernya?

    ayah syoo kok gtu ya. walau bgaimana pun mereka brdua kn anak kandungnya :3

    emang part ini rada ngebingungin sih, tp langsung ngerti kok maksudnya.. 😀

    next next ya thor
    semangat

  9. kreatif, bnyak konflik yg sulit untuk di tebak.. tp jujur aja, aq masih bingung sama bagian tempat, waktu yg menunjukan mana flashback dan mana masa skrang..
    penyampaian kalimat.ya pun masih ada yg berbelat belit..
    ff yg baguss, tegang tp feel nya kurang kerasa.. ditunggu mext chap yaa thor.. ^^

  10. ak kurang ngerti di part ini hehe ._.V complicated banget dah sumpah, ampe pusing ini baca nya xD benar” rumit ,,,
    coba changmin know the truth, pasti seruuu kyahahaha (?) ._.V
    penasaran selanjutnyaaa
    ditunggu, hwaiting !

  11. Bingung sama alurnya hehe
    mungkin karna lupa aja sama chapter yg sblumnya
    well, ditunggu next nya saja~

Leave a reply to emmalyana25 Cancel reply